Kampung Ende, Unik dan Masih Lestarikan Budaya Leluhur di Lombok

DEMO LANTAI KOTORAN KERBAU/SAPI: Rombongan wisata ke-12 kepala kampung se-Kecamatan Muara Pahu dipimpin Camat Muara Pahu Mauliddin Said (tiga kiri), melihat lebih dekat kegiatan membuat lantai dari tanah liat dicampur kotoran kerbau/sapi di pemukiman Kampung Ende, Lombok, NTB. Didamping Kepala Kampung Ende, Asnan (ketiga kanan), Selasa (8/10/2024).

Dari sejumlah deretan objek wisata di Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Hanya ada satu kampung yang masih terbilang unik. Yakni Kampung Endek, Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Sekelompok warga membentuk perkampungan seluas 1 hektare ini, masih mempertahankan tradisi leluhur. Mereka adalah, dari Suku Sasak, atau suku asli Pulau Lombok.

KEBERADAAN Kampung Ende, berada sekitar 40 kilometer atau waktu tempuh 60 menit dari Kota Mataram. dari Bandara International Lombok, jaraknya sekitar 7 Km dengan waktu tempuh 15 menit. Di pintu masuk Kampung Ende, ada papan informasi bertuliskan “Welcome to Sasak Village”. Dari pinggir jalan poros antar kota/kabupaten, terlihat pemukiman Kampung Ende, terbilang beda.

Melihat rumah yang beratapkan alang-alang. Sedangkan dinding dari anyaman bambu yang menjadi ciri Suku Sasak tentu menjadi pemandangan yang menarik. Atap rumah yang dibuat miring. Memang dibuat disengaja agar para tamu yang mengunjungi rumah harus menundukkan kepala sebagai penghormatan kepada sang pemilik rumah.

MASIH ALAMI: Wisatawan yang mengabadikan di pemukiman Kampung Ende.

Yang membuat terkejut lagi. Lantai rumahnya terbuat dari tanah liat bercampur kotoran kerbau atau sapi sebagai bahan selayaknya seperti semen. Rumah yang masih menggunakan kotoran kerbau atau sapi itu, tidak semua. Karena ada beberapa rumah sudah menggunakan semen. “Memang sejak zaman dulu tidak ada semen. Jadi kita gunakan kotoran kerbau atau sapi,” kata Kepala Kampung Ende Asnan didampingi Nuril Ende, selaku guide lokal menerima kunjungan wisata 12 kampung se-Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kaltim, Selasa (8/10/2024).

LANTAI KOTORAN KERBAU/SAPI: Warga Ende memperlihatkan pembuatan lantai rumah dari tanah liat dicampur kotoran kerbau/sapi. Ini dilakukan sejak nenek moyang mereka agar lantai rumah rapi. Meski tidak menimbulkan bau kotaran.

Kampung Ende hingga kini tercatat 32 rumah dan 32 kepala keluarga (KK). Adapun tradisi leluhur  dimiliki Suku Sasak, yaitu kawin lari. Dalam tradisi ini, pihak pria membawa lari wanita yang disukainya. Ini dilakukan tanpa diketahui oleh orangtua si wanita. Pelarian yang dilakukan biasanya berlangsung selama 3 hari. Setelah itu, orangtua wanita akan menebus untuk membicarakan kelanjutan hubungan ke jenjang yang lebih serius.

Pernikahan di Kampung Ende biasanya dilakukan di seputar lingkungan kampung. Perkawinan antarsepupu atau saudara masih sering terjadi. Jika ada seseorang yang ingin menikah dengan pihak luar kampung, orang tersebut diharuskan membayar denda yang nilainya cukup besar untuk kalangan masyarakat kampung. Dendanya senilai Rp 250 ribu. Denda senilai itu, di masyarakat Kampung Ende terbilang mahal. Dikarenakan nilai rupiah di Ende, dengan kebutuhan hidup terbilang berat.

MIRIP BEHEMPAS DI KUTAI BARAT: Tradisi Peresean atau Perisean merupakan salah satu seni tari suku Sasak Ende, yang berupa pertarungan antara dua lelaki yang bersenjatakan tongkat rotan (penjalin) serta berperisai kulit kerbau yang tebal dan keras (ende). Petarung dalam Peresean biasanya disebut pepadu dan wasit disebut pakembar. Laga ini dilakoni oleh Kepala Kampung Dasaq (kanan) dan warga Ende, wasit oleh Camat Muara Pahu Mauliddin Said (tengah) menjadi tamu kehormatan saat meninjau Kampung Ende, Selasa (8/10/2024).

Jika pria dari Kampung Ende mendapatkan pasangan atau jodoh dari luar kampung wajib tinggal di pemukiman Ende. Sedangkan, gadis Kampung Ende yang menikah dengan pria luar, tidak wajib berdomisili di pemukiman Ende. “Ini sudah menjadi aturan adat di sini. Dan ada beberapa gadis di sini menikah dari pria berasal luar pemukiman Ende. Ya keduanya harus tidak boleh tinggal di pemukiman Ende,” tegasnya. Meski demikian, tali kekeluargaan masih tetap terjalin.

Gendang Beleq berasal dari kata “Beleq” dalam bahasa Sasak yang artinya besar. Mereka memainkan gendang bersamaan dengan alat musik lain, seperti gong, terumpang, pencek, oncer, dan seruling. Dengan suara yang ramai, pertunjukan menjadi sangat menghibur.

Adapun kehidupan warga Kampung Ende, adalah bertani yang dilakoni sejak dulu kala. Namun yang agak beda, agamanya. Meski kuat mempertahankan adat istiadat, tapi semuanya beragama muslim. Dulunya, menganut agama Hindu. Bahkan waktu salat, warga Kampung Endek berbondong-bondong ke musala yang berada di lingkungan pemukiman Kampung Ende.

Untuk status tata pemerintahannya Kampung di Lombok ternyata berada di bawah dusun. Sedangkan dusun di bawah pemerintahan desa. Berbeda di Kutai Barat, wilayah kampung memiliki wilayah, selayaknya pemerintahan desa.

“Kalau kepala kampung di sini tidak ada gaji dan anggaran pembangunannya. Tidak seperti kepala desa,” kata Asnan. Untuk pembangunan di Kampung Ende, harus bergotong royong bersama warga secara kompak. Di antaranya dilaksanakan pagelaran seni ketika ada pengunjung. “Di acara itulah kami meminta bantuan sukarela. Dananya kami kumpulkan untuk kepentingan umum. Seperti merenovasi rumah warga yang rusak dan kegiatan sosial lainnya,” terangnya.

Kepala Kampung Ende, Asnan (kiri) bersama pemain musik menyambut kedatangan wisata dari 12 kampung se-Kecamatan Muara Pahu ke Kampung Ende, Lombok, NTB.

Jika ada pembangunan fisik datang dari pemerintah. Salah satunya, pada tahun 2017, pemukiman Kampung Ende mendapatkan bantuan pembangunan senilai Rp 9 miliar yang dikerjakan oleh pihak luar. “Kami hanya menerima fasilitas yang dibangun saja,” terangnya. Dana itu digunakan pembangunan musala, koperasi yang menjual berbagai kerajinan dari warga Ende, dan fasilitas lainnya.

Dia menyebutkan, gempa yang terjadi tahun 2018 di Kampung Ende terbilang aman. Meski demikian berdampak menurun drastis kunjungan wisatawan. Wisatawan berkunjung berkisar 100 sampai 200 orang per hari. Sebelum gempa berkisar 1.500 an orang per harinya. (rudy suhartono/bersambung, edisi kelima, Rabu 16 Oktober 2024 tentang nasib ekonomi warga Lombok, sejak jadi terkenalnya objek wisata).


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *