Catatan : Rudy Suhartono
Koridor, batu bara memadati jalan umum. Akses produksi emas hitam dari lokasi tambang ke pelabuhan bongkar muat di Sungai Mahakam. Penikmatnya, pengusaha, pemilik lahan. Bahkan para pihak yang terlibat di dalam kelancaran produksi.
Namun kini dikeluhkan masyarakat. Karena badan jalan rusak dan berdebu. Bahkan, sudah beberapa kali korban kecelakaan. Pemkab Kubar merilis hingga akhir 2023. Tercatat 54 kasus kecelakaan lalu lintas (lakalantas). 24 orang meninggal dunia, 1 luka berat dan 64 luka ringan.
Maraknya tambang batu bara ini. Teringat masa kejayaan HPHH (Hak Pengusahaan Hasil Hutan) beberapa tahun lalu. Penebangan kayu secara besar-besaran. Pemilik izin HPHH harus membayar fee kepada pemilik lahan/masyarakat. Ada pula bayar fee kayu sebagai pendapatan kampung.
Dampaknya ekonomi masyarakat sangat terasa. Uang fee ratusan miliaran mengalir ke masyarakat. Rame-rame buka tabungan di bank. Salah satu pimpinan bank plat merah mengakui, banyak warga Kubar memiliki rekening minimal Rp 1 miliar. Kemudian ada juga yang membeli berbagai kebutuhan hidup. Adapula aksi beli barang berharga (emas dan lainnya).
Adapula aksi borong sepeda motor. Ada sebuah kisah menarik cerita seorang teman. Banyaknya uang tidak mau membeli sepeda motor murah. Berpikir harus beli mahal dengan maksud lebih awet/bertahan lama. Meski hanya digunakan pulang pergi ke ladang untuk bertani. Singkat cerita. Habis terima uang fee kayu. Lantas membeli sepeda motor Honda Tiger. Kala itu seharga Rp 30 jutaan. Namun lama kelamaan uang simpanan menipis. Seiring usia gir sepeda motor Honda Tiger dimaksud sudah rusak. Ketika ke bengkel, bayar Rp 1,5 juta harga gir. Karena sayang uang sebanyak itu, akhirnya sepeda motor Honda Tiger tidak jadi ganti gir. Akhirnya jadi pajangan di rumah.
Berselang beberapa tahun, penebangan membabi buta HPHH dicabut oleh Pemerintah Pusat. Kayu di hutan Kubar punah. Meski ada sebagian kecil hutan yang terpelihara. Itupun tidak mampu bertahan lama jika tidak dijaga ahli warisnya.
JALAN RUSAK

FOTO: Tribunkaltim.co/Febriawan
KECEWA: Bupati FX Yapan (dua kiri) meninjau jalan rusak di Sendawar, Senin (18/3/2024)
Jalan utama yang rusak tidak saja ditujukan kepada truk koridor. Melainkan akibat tingginya mobilitas truk CPO (Crude Palm Oil) kapasitas melebihi tonase 8 ton. Menyikapi hal ini, Pemkab Kubar melakukan pertemuan khusus dengan Pemprov Kaltim dan Balai Besar Jalan Nasional (BBPJN) Kaltim di Hotel Mercure, Samarinda, Senin (18/3/2024) .
Lintasan truk CPO di jalan umum itu, kata Bupati Kubar FX Yapan, di jalan nasional dari Kubar ke Ibukota Provinsi Kaltim Samarinda. Bahkan yang turut dilintasi truk CPO, hingga di ruas jalan Kecamatan Sekolaq Darat.
Bupati mengatakan, upaya yang dilakukan rapat dan kesepakatan ditandatangani perusahaan perkebunan sawit untuk memperbaiki jalan yang rusak tersebut. Faktanya, tidak diindahkan. Dimungkinkan, dengan dalih oleh perusahaan, bahwa jalan tersebut statusnya jalan nasional. Sehingga bukan kewenangan kabupaten, melainkan Pemerintah Provinsi dan Pusat.
“Kami memiliki tanggungjawab dengan masyarakat. Apabila tidak dikomunikasi dengan provinsi dan pusat dikira kami mengabaikan dan tidak mengayomi masyarakat,”ungkap Bupati.
Usai pertemuan di Samarinda, Bupati meninjau kondisi jalan rusak, dari tugu Kelurahan Simpang Raya, Kecamatan Barong Tongkok ke Tugu Simpang tiga depan SMAN Kecamatan Melak, Senin (25/3/2024).
Bupati menyebutkan, ini akses jalan pusat. Kerusakan jalan utama ini, kewenangan Pemerintah Pusat memperbaikinya. Dia menyarankan, jika tidak diperbaiki pusat agar penanganan ke Pemkab Kubar.
Sementara itu, Lembaga Adat Besar Kabupaten Kubar juga turun tangan. Melaksanakan pertemuan menyikapi rusaknya jalan utama. Di samping itu, pengaturan jam mobilitas truk koridor.

MERAJALELA

Tambang koridor berstatus illegal. Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, Pradarma Rupang, punya pandangan yang lain. Terlepas dari besaran keuntungan, tambang ilegal tidak menyumbang sepeser rupiah pun kepada negara. Tidak pula menyediakan dana untuk pengelolaan lingkungan, reklamasi, maupun kegiatan pasca-tambang. Akibatnya, masyarakat di lingkar tambang tak mendapat manfaat apapun kecuali dampak dari kerusakan lingkungan.
“Negara juga tiga kali dirugikan. Aset hilang, tidak ada royalti dan pajak, serta mewariskan kerusakan lingkungan. Akhirnya pemulihan lingkungan ditanggung negara melalui pajak rakyat,” kritik Rupang, seperti dilansir Kaltimkece.id.
Jatam Kaltim telah menganalisis dan terus memverifikasi di lapangan, bahwasanya ada 100 titik tambang ilegal di Kaltim. Lokasinya tersebar disejumlah kabupaten/kota.
Apabila dari setiap 100 titik tambang ilegal itu diasumsikan punya luas rata-rata 2 hektare saja, artinya ada 200 hektare lahan yang dikeruk dengan ilegal.
Rupang mengingatkan, praktik tambang ilegal telah menyebabkan Kaltim layak berstatus darurat lingkungan. Para mafia tambang tersebut harus ditertibkan dan diadili di meja hijau. Di samping itu, kerugian negara karena tidak adanya royalti dari tambang ilegal juga sangat besar.
Menurut asumsi, produksi dari 100 titik tambang ilegal di Kaltim bisa menembus 500 ribu ton sebulan. Apabila tingkat kalori batu bara rata-rata 4.700-5.700 kkal/kg, iuran produksinya 5 persen dari harga jual. Pada Oktober 2021, harga batu bara acuan telah mencapai USD 163 per ton. Dengan demikian, potensi hilangnya pendapatan negara bukan pajak (royalti) dari aktivitas tambang ilegal di Kaltim sekitar Rp 57 miliar. Hanya dalam sebulan.
Berbeda pemilik bisnis tambangnya. Menyewa ekskavator tipe PC 200 per unit Rp 320 ribu per jam termasuk operatornya. Biaya mobilisasi alat berat Rp 10 juta per unit.
Begitu batu bara sudah di atas tanah, kami hubungi koordinator truk di wilayah tersebut. Memang ada koordinatornya. Mereka bisa siapkan belasan truk buat mengangkut batu bara ke jetty (dermaga tongkang). Jadi, kami dapat sekitar Rp 3,9 miliar dari produksi 5.000 ton batu bara. Waktu itu, kami menambang hanya sebulan. Cuacanya lagi bagus, jadi bisa cepat. Jika dipotong total biaya produksi sekitar Rp 3 miliar lebih, kami dapat Rp 700 jutaan. Untungnya sekitar Rp 170 ribu per ton.
MENDUKUNG
Maraknya tambang illegal ini direspon positif oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pertambangan Rakyat Indonesia (APPRI). Langkah ini menyusul adanya pernyataan Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto, soal tambang koridor dikelola sebagai tambang rakyat. Komjen Agus menyebut tambang rakyat dengan istilah koridor diberi kesempatan agar masyarakat masih bisa memperoleh pendapatan, seperti dilansir Liputan6.com.
Hal itu dilakukan sebagai upaya dari pemulihan ekonomi nasional dan investasi.
Menanggapi soal itu, Rudi mengatakan ide yang disampaikan Komjen Agus merupakan pemikiran cerdas. Terlebih, selama ini keberadaan tambang rakyat telah diakomodir dalam regulasi, meski dalam pelaksanaannya belum ada petunjuk teknis yang detail.
Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, mengatur adanya tambang rakyat.
“Ketua APPRI sangat mendukung statmen Kabareskrim bahwa tambang koridor diberikan kepada rakyat sebagai tambang rakyat,” kata Rudi Prianto, Ketua Umum APPRI.
Tentu hal tersebut akan meningkatkan pendapatan rakyat setelah dihantam pandemi Covid-19. Upaya tersebut tentu jadi bagian dari pemulihan ekonomi masyarakat.
“Ini pemikiran yang cerdas sambil, menunggu dukungan perlindungan dan regulasi yang jelas dari pemerintah soal tambang rakyat ini,” sambungnya.
Sebagai informasi, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, mengatur pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR). IPR dapat diberikan kepada perorangan, kelompok masyarakat atau koperasi setempat.
Namun, untuk memperoleh IPR, terlebih dahulu pemohon mengajukan permohonan dengan syarat dan ketentuan untuk memperoleh IPR. Nilai investasi dan luasan IPR terbatas, jika dibanding dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Misalnya, untuk perorangan luasan IPR maksimal diberikan 5 hektare. Begitu juga dengan masa berlaku izin. Pemberian IPR paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali tiap 5 tahun.
Sementara, untuk kewajiban pemegang IPR yakni membayar pajak PPh dan melaporkan SPT tahunan secara rutin.
Rudi meminta agar bank daerah bisa dimanfaatkan untuk menerima tampungan jamrek. Sementara, pengelolahan reklamasi bisa dilakukan oleh pihak swasta ataupun BUMD di bawah pengawasan Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Ini akan bermaanfaat bagi pendapatan masyarakat daerah, minerba tidak hanya bekerja untuk kepentingan pengusaha level ibu kota, tapi juga di daerah,” kata pria yang juga Ketua Koperasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Tani Makmur Sejahtera (Tamara) Kaltim ini.
Sementara, pengusaha lokal dengan segala keterbatasannya tak bisa berbuat banyak hal. Akibatnya, jadi penonton karena tak mendapat tempat berusaha di tanahnya sendiri.
Ketika ada yang nekat menambang namun belum mengantongi izin, langsung dilabeli ilegal. Padahal, pemerintah sendiri belum mengatur detail partisipasi masyarakat dalam sektor penambangan rakyat. (*)