PANEN TBS : Perkebunan kelapa sawit yang terus menjamur di Kutai Barat, memberikan dampak ekonomi bagi pelaku usaha. Banyaknya karyawan luar bekerja menjadi peluang membuka usaha.
mediaoke. KALTIM PERS – Sedikitnya 24 ribu warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bekerja di Kutai Barat. Ini data 2010. Diprediksi hingga 2024, jumlahnya tersebut terus bertambah seiring menjamurnya peluang pekerjaan di perusahaan kelapa sawit dan tambang batu bara. Termasuk, turut bekerja yang juga jumlahnya banyak dari Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat.

Kehadiran saudara kita dari dua provinsi ini, memberikan dampak positif. Terutama perekonomian bagi pelaku usaha di Sendawar, ibu kota Kabupaten Kutai Barat. Setelah menerima gaji, rata-rata mereka berbelanja kebutuhan pokok dan lainnya di kecamatan terdekat. Salah satunya ke Kecamatan Melak dan Barong Tongkok. Jika penghasilan rata-rata Rp 5 juta per karyawan dari 24 ribu orang berarti ada kisaran Rp 144 miliar setiap bulan uang dihabiskan di Kutai Barat.
Diantara perusahaan perkebunan kelapa sawit itu yakni PT. Maha Karya Bersama (MKB) dengan lokasi kebun di Kecamatan Muara Pahu. Kemudian, PT. Fangiono Agro Plantation (FAP) Grup di Kecamatan Mook Manaar Bulatn.
”Kami kalau habis menerima gaji dari perusahaan turun ke Melak atau ke Barong Tongkok untuk berbelanja bahan pangan, pakaian dan keperluan lainnya,” kata Ucok (45 tahun), bekerja sebagai supir truk pengangkut Tandan Buah Segar (TBS) kepala sawit di PT FAP.
Dirinya yang sudah bekerja sejak 2013, dan memiliki gaji sebesar Rp 5 juta lebih. Untuk penghasil terbesar adalah karyawan bagian panen TBS. Kisaran antara Rp 6 juta lebih per bulan. Rata-rata seorang pekerja menyertakan istrinya, sehingga satu keluarga bisa mencapai Rp 16 juta lebih per bulan. “Karena kami di perusahaan bagi yang sudah menikah wajib dibawa ke Kutai Barat, sekalian menjadi karyawan,” terangnya. Meski terbilang besar nominalnya namun masih dirasa kurang karena besarnya biaya hidup di Kutai Barat. Harga barang naik terus.
Awal mula bekerja di Kutai Barat, ungkap dia, ada salah satu pihak yang menawarkan pekerjaan di Kabupaten Mamuju. Kemudian setelah dikumpulkan di Mamuju lalu diberangkatkan ke Kutai Barat. Biaya perjalanan dan konsumsi hingga ke Kutai Barat sudah dijamin pihak lembaga tersebut. “Dan betul kami langsung bekerja sebagai karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit di situ (PT. FAP),” katanya. Di PT. FAP ada sekitar 400 orang warga Mamuju bekerja.
Ditanya soal komposisi asal karyawan menurut dia, terbanyak dari NTT. Meski demikian, karyawan lokal atau warga asli Kutai Barat juga banyak. Bahkan posisi karyawan lokal berada di tempat penting. Salah satunya menjadi mandor.
Ucok dan dibenarkan warga NTT lainnya, di Kutai Barat telah mengalami kemajuan dalam pembangunan enam tahun terakhir. Terutama akses jalan dan jembatan sebagian besar sudah mudah dilintasi antar kampung, kecamatan, dan ibu kota kabupaten. Karena sudah dibangun dengan baik. “Contohnya saja, kami dari Kecamatan Mook Manaar Bulatn bisa ke Melak dengan mudah,” katanya. Karena jalannya sebagian besar sudah di-rigiq (beton bertulang). Demikian pula karyawan di PT.MKB juga bisa mudah ke Melak. Dulu akes jalan tanah jika hujan tidak bisa dilintasi. (adv/diskominfo/rud/KP)
