Blog  

Jabatan Kades Ditambah, Kita “Kecolongan”

ilustrasi warta kota

Secara sah pemerintah menetapkan revisi UU desa. Menyusul tingginya desakan kepala desa se-Indonesia hanya 6 tahun boleh 3 kali masa jabatan atau totalnya 18 tahun. Tuntutan disetujui dengan merevisi UU Desa masa jabatan menjadi 8 tahun. Namun masa jabatan boleh 2 kali durasinya 16 tahun. Artinya, jabatan bertambah namun masanya berkurang 2 tahun.

Saya pribadi, selaku kepala kampung Muara Beloan, Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur belum sepenuhnya menyetujui. Ada kesan tidak adil. Namun jika melihat masa jabatan secara nasional, ada perlakukan yang berbeda. Khususnya, soal masa jabatan.

Misalnya saja, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Waki Walikota, Gubernur dan Wakil Gubernur. Kemudian, Presiden dan Wakil Presiden. Dibatasi hanya 5 tahun dan boleh dua kali masa jabatan atau 10 tahun saja. Demikian, anggota DPRRI, DPDRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Bahkan menjadi anggota KPU juga sudah dibatasi hanya 5 tahun.

Padahal kalau kita merujuk Pasal 43 Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Di situ dinyatakan, “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan.

Artinya, bahwa setiap orang tidak boleh dibatasi. Selama orang itu dinilai baik dalam kinerja dan peduli kepada warga. Pro dan kontra masih menyelimuti persoalan masa jabatan. Meski secara tegas pemerintah telah mematok masa jabatan rata-rata 5 tahun dan boleh dua kali saja.

Sebelum kita membahas soal, masa jabatan kepala desa yang bertambah. Kita sudah “kecolongan”. Kita membuka mata dulu  masa jabatan 5 tahun bagi wakil rakyat (DPRRI, DPDRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota). Belum ada keputusan khusus anggota wakil rakyat dari daerah hingga ke pusat dibatasi. Meski hanya 5 tahun tapi boleh berkali-kali. Nah ini sudah tidak adil rasanya. Secara umum kita tahu semua bahwa banyak wakil rakyat hingga sekarang sudah beberapa periode menjabat. Sementara yang buat aturan itu, pihak pemerintah dan wakil rakyat. Lantas siapa yang salah ini ? Mestinya diperlakukan sama dong.

Jika bicara regenerasi, nol besar. Bisa dievaluasi. Jika seseorang menduduki jabatan yang sama berpuluh tahun. Maka akan ada titik jenuh. Malas berjuang demi rakyat. Sidang paripura tertidur. Reses digunakan jalan-jalan dan kepentingan lainnya. Sementara banyak masalah di masyarakat terabaikan. Betul apa tidak?

Yang lebih memprihatinkan lagi. Banyak generasi muda yang berminat jadi wakil rakyat. Kemampuan berpikir dan fisik sangat memadai. Namun apalah daya. Banyak pemilih perlu uang dan bantuan. Karena sudah ternodai. Namun dibalik itu, ada anggota dewan yang maju lagi. Mereka lebih mudah menghamburkan bantuan “berkedok’ dana pokir (pokok pikiran). Misalnya di Kubar saja, ada 328 calon legislatif (caleg). Padahal mereka merebutkan 25 kursi DPRD Kubar. Artinya ada 303 caleg yang bakal tersingkir atau kalah. Dipastikan yang kalah ini karena tidak punya modal besar apalagi dana pokir.

Jika sudah begini. Apakah sudah adil. Mereka lima tahun jabatan tapi bisa berkali-kali. Demikian juga biaya konstituen tertolong.

Kepala Desa tidak kebal hukum.

KEPALA DESA

Besarnya gelombang protes masa jabatan kepala desa se-Indonesia. Lebih kepada pendeknya sama jabatan. Bukan napsu jabatan. Janga 6 tahun meski terbilang lebih banyak. Namun risiko lebih tinggi.

Khususnya di daerah pulau Jawa dan sekitarnya. Pemilihan kepala desa lebih besar biayanya. Bahkan risiko keamanan demikian pula. Banyak habis pemilihan kepala desa terjadi insiden berdarah dan sebagainya. Berangkat dari itulah, agar masa jabatan kepala desa ditambah. Sehingga pasca kekalahan tidak menjadikan persoalan buruk apalagi hingga kontak fisik.

Namun ada pihak menyatakan. Masa jabatan lebih lama malah banyak korupsi. Padahal, kepala desa juga tidak kebal hukum. Bersalah pasti diproses. Bisa melihat di media sosial. Kepala desa dipenjara akibat korupsi. Apalagi penggunaan dana desa itu dimonitoring setiap tahun. Baik penggunaannya maupun realisasi di lapangannya.

Pesta demokrasi di tengah kemiskinan warga.

DEMOKRASI ITU MAHAL

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa jumlah desa se-Indonesia tahun 2022 mencapai 83.794 desa/kelurahan. Kemudian 416 kabupaten dan 98 kota dari 38 provinsi. Negara setiap lima tahun menghabiskan puluhan triliun untuk melaksanakan pesta demokrasi. Biaya pemilu 2024 mencapai Rp 28 triliun. Sementara masih banyak fasilitas umum dan kesejahteraan masyarakat terabaikan.

Bisa kita bayangkan. Jika puluhan triliun itu untuk membangun. Kemudian untuk kesejahteraan masyarakat justru lebih tepat. Jangan sampai kita habiskan uang untuk demokrasi. Uang dari sumber daya alam (SDA) akan jadi kenangan saja. SDA akan habis. Sementara kehidupan terus menerus. (rudy suhartono)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *